Sabtu, 24 Juli 2021

Waspadai Ketimpangan Perkotaan

 

Waspadai Ketimpangan (Ekonomi) Perkotaan

Oleh : Andreas Lako


"Untuk merumuskan solusi yang efektif mengatasi peningkatan ketimpangan perkoataan, maka pemerintah daerah perlu segera mengundang pimpinan BPS Jateng untuk dapat dimintai penjelasannya lebih lanjut tentang daerah-daerah perkotaan mana saja yang mengalami peningkatan ketimpangan yang serius dan apa saja faktor penyebabnya."

PADA 15 Juli 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah merilis dua berita sekaligus, yaitu berita kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk per Maret 2021. Di satu sisi, BPS melaporkan bahwa per Maret 2021, jumlah penduduk miskin Jateng menurun 10,2 ribu orang, yaitu dari 4,12 juta orang atau 11,84 persen (September 2020) menjadi 4,11 juta orang atau 11,79 persen (Maret 2021).

Walaupun hanya sedikit, penurunan itu sedikit melegakan hati kita di tengah kekhawatiran sejumlah pihak bahwa akan terjadi lonjakan jumlah pendidik miskin akibat dililit Covid-19.

Namun di sisi lain, BPS juga merilis berita yang cukup mencemaskan, khususnya berkaitan dengan ketimpangan pengeluaran penduduk. Dilaporkan bahwa per Maret 2021, ketimpangan pengeluaran penduduk, yang diukur dengan Rasio Gini, meningkat dari 0,359 (September 2020) menjadi 0,372 pada Maret 2021.

Dari angka tersebut, sebenarnya ketimpangan di Jateng masih aman, karena masih masuk dalam kategori ‘’ketimpangan rendah’’. Potensi gejolak sosial pun sangat kecil. Namun, bila ditelaah lebih lanjut dari pemberitaan BPS tersebut, maka akan terlihat bahwa Rasio Gini di daerah perkotaan meningkat cukup tajam dari 0,386 (September 2020) menjadi 0,398 pada Maret 2021.

Sementara itu, peningkatan rasio Gini di wilayah pedesaan masih tergolong ketimpangan rendah, yaitu dari 0,318 (September 2020) menjadi 0,325 pada Maret 2021.

Berdasarkan kriteria Rasio Gini, ketimpangan sosial di daerah perkotaan tersebut sudah nyaris masuk ke 0,40, yaitu masuk ke dalam kategori ‘’ketimpangan menengah’’. Hal ini cukup mencemaskan dan patut diwaspadai pemerintah, karena potensi risiko-risiko sosial-politiknya cukup besar. Fakta-fakta empiris menunjukkan ketika suatu daerah akan masuk atau sudah masuk ke dalam kategori ‘’ketimpangan menengah’’, maka daerah itu akan mudah sekali terjadi gejolak sosial. Kecemburuan sosial antarkelompok masyarakat meningkat.

Kecemburuan itu bisa memicu riak-riak konflik sosial antarkelompok masyarakat yang berujung pada tindakan anarkisme yang merugikan masyarakat dan daerah. Biasanya daerah dengan ketimpangan sosial menengah dan tinggi juga akan mudah dijadikan tempat yang subur bagi bersemainya benih-benih radikalisme.

Daerah itu juga mudah tersuluh konflik sosial dan kegaduhan politik. Selain itu, daerah-daerah dengan ketimpangan yang cukup lebar biasanya pengaruh pemerintahan juga kurang efektif.

Coudouel, Dani, dan Paternostro (2006) dalam artikelnya ‘’Poverty and Social Impact Analysis of Reform: Lessons and Examples from Implementation’’ menjelaskan, meskipun ketimpangan bisa saja tidak sampai menimbulkan guncangan sosial dan politik, namun ketimpangan itu dapat menimbulkan resistensi masyarakat terhadap berbagai reformasi kebijakan pemerintah.

Roda pemerintahan kurang efektif. Dalam kondisi dililit pandemik Covid-19 seperti saat ini, di mana sumber-sumber penghidupan atau penghasilan masyarakat kelas menengah-bawah di daerah perkotaan banyak yang hilang atau merosot tajam akibat pelaksanaan PPKM darurat, maka peningkatan ketimpangan ekonomi (Rasio Gini) hingga mencapai 0,398 dan bahkan mungkin sudah melampaui di 0,40 selama April-Juli 2021, patut diwaspadai dan disiasati.

Di daerah perkotaan, ketimpangan berskala menengah memiliki potensi risiko konflik yang jauh lebih besar dan kompleks dibandingkan dengan daerah pedesaan. Apalagi dalam kondisi diliputi ketidakpastian dan kecemasan akibat Covid-19.

Hal itu akibat lebih dari 40 persen kelompok masyarakat miskin berpendapatan rendah lebih rentan dan sensitif, serta mudah terprovokasi oleh isu-isu kemiskinan, ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan isu-isu lain dari orang-orang atau sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, daerah perkotaan juga menanggung beban pengangguran terbuka lebih berat dibandingkan dengan pedesaan.

Dalam kondisi ketidakpastian dan ketimpangan yang kian melebar, serta juga beban perkotaan yang makin berat itu, maka akan sangat mudah sekali masyarakat terprovokasi oleh isu-isu sensitif dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Belajar dari sejumlah kasus kerusuhan massa dari sejumlah kota dan daerah, seperti di DKI Jakarta, Makassar, Yogyakarta, Solo, Papua, dan lainnya, maka Pemerintah Daerah Provinsi dan kabupaten/ kota di Jateng dan pihakpihak terkait perlu mewaspadai peningkatan ketimpangan di daerah perkotaan. Pemerintah perlu bergerak cepat untuk merumuskan solusinya yang efektif.


Mengatasi Ketimpangan

Lalu, bagaimana solusinya? Untuk merumuskan solusi yang efektif mengatasi peningkatan ketimpangan perkoataan, maka pemerintah daerah perlu segera mengundang pimpinan BPS Jateng untuk dapat dimintai penjelasannya lebih lanjut tentang daerah-daerah perkotaan mana saja yang mengalami peningkatan ketimpangan yang serius dan apa saja faktor penyebabnya.

Penjelasan itu sangat penting untuk memudahkan pemerintah dan berbagai pihak bisa fokus dalam merumuskan berbagai strategi dan kebijakan pembangunan untuk mengurangi peningkatan ketimpangan dan mencegah potensi gejolak sosial di perkotaan.

Langkah penting berikutnya adalah sebaiknya melonggarkan penerapan PPKM darurat di wilayah perkotaan yang akan dilanjutkan lagi pemerintah demi menekan laju Covid-19.

Hal ini penting untuk memungkinkan para pelaku ekonomi, khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dapat menjalankan kembali usaha ekonomi bisnisnya dan mempekerjakan kembali para pekerjanya serta merekrut tenaga kerja baru.

Hal ini tentu akan memiliki efek positif terhadap penurunan laju kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan, serta mendongkrak kinerja perekonomian dan pendapatan daerah. Kepada mereka, pemerintah perlu mensyaratkan pentingnya menerapkan protokol kesehatan sebagai budaya bisnis dalam operasi usaha bisnis.

Mereka juga diminta untuk ‘’mendidik dan bahkan memaksa’’ para pelanggannya untuk menaati protokol kesehatan. Walaupun kebijakan ini bisa berpotensi meningkatkan lagi kasus Covid-19, namun di sisi lain pelonggaran itu akan sangat efektif menekan potensi gejolak sosial akibat melebarnya ketimpangan sosialekonomi.

Patut juga diingat, mayoritas dari 80 persen penduduk berpendapatan menengah dan rendah yang bermukim di daerah-daerah perkotaan sangat mengandalkan penghasilan harian untuk menopang kelangsungan hidup mereka.

Pembatasan sosial dan penerapan PPKM secara ketat untuk menekan laju Covid-19 yang telah diterapkan pemerintah daerah tentu saja sangat berdampak negatif terhadap sumber penghidupan dan kelangsungan kehidupan mereka.

Hal ini harus juga dipertimbangkan secara arif dan bijak oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait. Langkah ketiga adalah intervensi pemerintah berupa pemberian bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat miskin, kaum difabel, tua jompo, dan pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) untuk menopang kelangsungan hidup mereka. Walaupun anggaran pemerintah kian terbatas atau defisit akibat dililit Covid-19, namun pemerintah perlu menguyapakan sumbersumber pendapatan alternatif untuk membantu kelompok ini.

Misalnya, penggalangan dana kemanusiaan dari masyarakat dan korporasi agar saling berbelas kasih. Semoga badai krisis Covid-19 segera berlalu! (37)


—Andreas Lako, Ketua Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata Semarang.


Sumber: 

https://www.suaramerdeka.com/opini/pr-04471223/waspadai-ketimpangan-perkotaan?page=all

Kamis, 08 Juli 2021

Kampus Bangkitkan Desa Wisata

 Kampus Bangkitkan Desa Wisata 

Oleh : M Lukman Leksono


TIDAK terasa sudah dua tahun berlalu negara kita menghadapi pandemi virus Covid-19. Korban jiwa dan kerugian material di semua sektor pemerintahan hampir semuanya terdampak pandemi Covid-19.

Rasa bingung dan waswas akan terjadinya gelombang kedua tampak terlihat di wajah para pemimpin kita, tak terkecuali Presiden Joko Widodo dan Menteri Pariwisata Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno.

Ya, para pemimpin tersebut rupanya sedang gelisah, namun tetap berupaya keras mengembalikan kerugian di sektor pariwisata akibat dampak ini.

Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor penting di pemerintahan, karena menjadi salah satu sektor penyumbang devisa negara dan pengembangan perekonomian Indonesia tentunya.

Fakta berbicara sejak Sandiaga Uno resmi dilantik menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Desember 2020, ada banyak perubahan signifikan di sektor ini.

Ada tiga program yang ditawarkan beliau. Pertama mengenai strategi inovasi dengan pendekatan big data, untuk memetakan potensi dan menguatkan berbagai aspek pada sektor parekraf (pariwisata ekonomi kreatif).

Inovasi tentunya akan menjadi dasar bagi pengembangan destinasi superprioritas dalam satu tahun, bisa meliputi kuliner, busana, tarian, dan infrastruktur.

Kedua, adaptasi yang membiasakan dan mendisiplinkan penerapan protokol CHSE di setiap destinasi wisata sebagai bentuk atau adaptasi kebiasaan baru di masa pandemi Covid-19.

CHSE merupakan Cleanliness (kebersihan), Healthy (kesehatan), Safety (keamanan), dan Environment (ramah lingkungan). Kemudian yang ketiga, yaitu berkolaborasi dengan semua pihak maupun stakeholder untuk menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya. Sepertinya program-program ini menarik dan meyakinkan mata publik yang mungkin sudah kangen berpariwisata dan melepas penat, karena setiap hari mendengar kabar Covid-19 yang belum tuntas.


Peran Perguruan Tinggi

Dari ketiga progam tersebut, rupanya ada satu program yang memiliki magnet ketertarikan untuk mengembangkannya di bidang pendidikan perguruan tinggi, yaitu memetakan strategi inovasi dengan pendekatan big data dan teknologi.

Big data saat ini sudah tidak asing lagi di telinga pengembang perangkat lunak dengan skala proyek yang luas.

Penggunaan basis data sangat diperlukan untuk dapat mengelola, menyimpan, memanajemen segala informasi yang berbentuk data secara terstruktur dan tersistem.

Banyak perusahaan besar di bidang pariwisata yang membutuhkan kapasitas data sangat besar untuk menyimpan data terkait perusahaan tersebut. Untuk proyek dengan skala kecil, pada umumnya cukup dengan menggunakan bantuan database yang bersifat open source seperti MySQL, PostGre, MariaDB, dan lain- lain.

Akan tetapi, untuk kebutuhan software yang menampung berbagai jenis data, maka dapat mengakibatkan proses penanganan data menjadi lambat dan kurang efektif.

Langkah terbaik untuk menangani masalah tersebut adalah dengan menggunakan big data.

Big data digunakan oleh industri perjalanan dan pariwisata untuk menganalisis dan mengumpulkan informasi tentang orang-orang untuk mendapatkan pemahaman yang jelas tentang apa yang ditawarkan dalam dunia pariwisata.

Hal ini mungkin cocok dengan kondisi kita sekarang yang masih beraktivitas lewat media online dan sebagian masyarakat juga mendapatkan semua informasi di dunia melalui internet.

Beberapa perguruan tinggi di Indonesia yang sedang mengembangkan big data dan teknologi sebenarnya punya potensi juga untuk mendukung perekonomian masyarakat di sektor pariwisata dengan salah satu kegiatan tridharmanya, yaitu pengabdian kepada masyarakat. Salah satunya adalah kegiatan pengabdian masyarakat di Desa Melung, Kabupaten Banyumas, yang dilakukan perguruan tinggi di Jawa Tengah, yaitu Institut Teknologi Telkom Purwokerto.

Kegiatan pengabdian ini di antaranya memperkenalkan internet masuk desa untuk memasarkan produkproduk desa wisata yang ada di dalamnya. Kegiatan ini juga dibantu oleh kelompok Penggiat Kelompok Sadar Wisata) (Pokdarwis) Kabupaten Banyumas.

Penggiat Pokdarwis harus melek dan mampu memanfaatkan teknologi untuk mengelola destinasi wisata di desanya. Tidak hanya sebagai sarana promosi, tapi juga sarana pembayaran yang bersifat nontunai. Institut Teknologi Telkom Purwokerto (ITTP) berkerja sama dengan Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Banyumas sudah memberikan pelatihan kepada pegiat Pokdarwis se- Kabupaten Banyumas, beberapa bulan yang lalu.

Kegiatan ini bertujuan meningkatkan sumber daya manusia penggiat wisata untuk mengembangkan aspek kelembagaan, penataan, dan pengelolaan destinasi wisata.

Pada era serbadigital seperti sekarang ini, sektor wisata sangat memungkinkan untuk menggunakan pembayaran ketika masuk zona wisata secara non-tunai.

Beberapa platform yang dapat digunakan, seperti di kami (ITTP) saat ini semua transaksi dilakukan menggunakan aplikasi Link Aja dan QRIS. Momentum dan kesempatan yang sangat baik buat semua elemen Pokdarwis jika menggunakan ragam aplikasi pembayaran non-tunai sebagai syarat masuk ke wisata.

Saat ini Kabupaten Banyumas sedang membangun sistem yang bersumber pada Dana Alokasi Khusus (DAK) Non-Fisik. Salah satunya adalah mendorong kelompok sadar wisata untuk menerapkan sistem pembayaran secara nontunai menggunakan QRIS. Namun, ada juga kendala dan permasalahan yang sering dihadapi oleh para penggiat Pokdarwis, yaitu terkendala jaringan internet dan miniminya pengetahuan mengenai transaksi non-tunai.

Selain itu, kampus juga akan selalu memberikan inovasi teknologi yang bermanfaat demi memajukan desa wisata yanga ada di wilayah Banyumas, khususnya di Desa Melung ini.

Semoga dengan adanya kolaborasi dengan perguruan tinggi, ke depan harapan kami bisa mendukung dan membantu program Menkraf untuk mewujudkan pariwisata yang kuat dan tangguh di masa pandemi Covid-19, serta bisa memulihkan perekonomian masyarakat.


Solusi Terbaik

Solusi pengelolaan wisata di masa pandemi, menurut ringkasan acara webinar yang berjudul ''Reset Restart Recover Tourism: Regional Tourism Collaborative Opportunities post-Covid-19 for Malaysia and Indonesia'', Jumat (19/6/2020). Acara ini diselenggarakan oleh Minister of Tourism, Arts, and Culture Malaysia, Nancy Shukri.

Beliau mengatakan bahwa pandemi membawa peluang untuk mengubah industri pariwisata. Krisis ini juga mengajarkan kepada kita adalah kemampuan untuk beradaptasi.

Covid-19 mempercepat evolusi industri dan digitalisasi seluruh layanan. Dengan ruang mobilitas masyarakat yang dibatasi, banyak masyarakat menggunakan media sosial untuk membaca berita seputar wabah, mengobrol dengan kerabat, dan produktif dalam pekerjaan.

Hal tersebut membuat teknologi digital berkembang dan dapat dimanfaatkan secara masif oleh pelaku industri pariwisata di Indonesia selama pandemi berlangsung.

Langkah awal untuk memasarkan wisata secara digital sudah menjadi salah satu jawabannya. Khususnya dalam pemasaran produk dan layanan pariwisata. Melihat hal tersebut, para pelaku industri pariwisata hendaknya dapat memanfaatkan teknologi digital semaksimal mungkin.

Misalnya, menggunakan media sosial. Hal ini merupakan sesuatu yang penting untuk memperkenalkan paket atau layanan baru kepada pasar yang lebih luas.

Dengan ini akan membuat industri pariwisata tetap segar dan relevan. Bagi para pelaku industri pariwisata, mempelajari hal-hal baru yang ditawarkan oleh teknologi digital sangatlah penting dalam mengelola perkembangan industri pariwisata. Adapun hal baru yang dimaksud adalah berlangsungnya webinar, aplikasi e-commerce, serta para operator pariwisata yang menawarkan produk dan layanan mereka yang bisa dipesan secara daring.

Pemasaran produk pariwisata secara digital lebih efektif dalam memberikan rasa percaya diri kepada pelanggan.

Ini juga akan lebih hemat biaya untuk jangka panjang. Hal ini adalah tren yang baru di era new normal.

Banyak bisnis pariwisata yang telah meningkatkan kehadiran mereka di dunia maya di tengah pandemi virus korona. Melalui berbagai macam penawaran yang disampaikan secara daring, mereka tetap relevan di mata masyarakat. Alhasil, banyak dari mereka yang telah menemukan cara baru guna membuat portofolio mereka semakin beragam guna memasarkan kegiatan pariwisata ke pasar yang lebih luas.

Kemudian, standar kebersihan dan kesehatan harus juga diperhatikan. Pemerintah dan Deputi Bidang Pemasaran Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) seharusnya dapat membuat standar kebersihan dan kesehatan di industri pariwisata semakin meningkat.

Menurutnya, pandemi mengajarkan masyarakat untuk semakin rajin mencuci tangan setiap hari. Tidak hanya itu, kebersihan dan kesehatan kini menjadi prioritas utama. Selain teknologi digital yang memiliki peran penting, untuk kebersihan, kesehatan, dan keamanan sudah menjadi prioritas. (27)


–– M Lukman Leksono, dosen Bahasa Indonesia Institut Teknologi Telkom Purwokerto dan Penggiat Literasi Banyumas


Sumber: 

https://www.suaramerdeka.com/opini/pr-04426357/kampus-bangkitkan-desa-wisata

Sabtu, 12 Juni 2021

Menuju Kota Konservasi Iklim

 Menuju Kota Konservasi Iklim 

Oleh : Amrizarois Ismail SPd MLing (Teguh)



"Kegiatan Public Transport Day ini sejatinya juga berpotensi dalam menciptakan efisiensi. Secara teknis, kegiatan ini dapat digolongkan sebagai kegiatan jeda dalam menggunakan energi terutama energi fuel yang berasal dari penggunaan bahan bakar minyak (BBM) untuk kendaraan bermotor."

TERHITUNG dua minggu sudah uji coba kewajiban penggunaan transportasi umum bagi pegawai atau staf di lingkungan Kota Semarang diberlakukan.

Uji coba ini diberlakukan sejak Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengumumkan penetapan Public Transport Day atau Hari Angkutan Umum di Kota Semarang setiap Selasa. Saat ini dilakukan uji coba dengan mewajibkan pegawai Kota Semarang sejak tanggal 8 Juni hingga 6 Juli 2021 mendatang untuk menggunakan transportasi umum setiap Selasa. Uji Coba kebijakan ini berlaku wajib bagi pegawai Pemkot Semarang, namun tidak bagi masyarakat umum.

Dikutip dari Tribunnews.com, uji coba Public Transport Day ini dilatarbelakangi oleh peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati pada tanggal 5 Juni 2021. Selain itu, uji coba ini juga dimaksudkan untuk mendorong peningkatan minat masyarakat dalam menggunakan layanan moda transportrasi umum, sehingga akan turut membantu masyarakat terutama jasa penyedia layanan untuk meningkatkan perekonomiannya yang sempat lesu akibat hantaman Covid-19.

Jasa transportasi memang menjadi salah satu sektor yang secara ekonomi menerima pukulan telak resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Sebelum pandemi, transportrasi menjadi salah satu sektor yang secara signifikan mendorong peningkatan lapangan kerja melalui kemitraan dengan masyarakat, salah satu yang menjadi primadona adalah moda transportrasi daring seperti Gojek, Grab, dan Maxim. Namun, kondisi berbeda ditunjukkan saat pandemi Covid-19 menghantam dunia dan Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) pada November 2020, sebagaimana dikutip oleh detik.com merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia Triwulan III- 2020 mengalami kontraksi sebesar 3,49 %.

Kondisi tersebut menjadikan Indonesia resmi masuk ke dalam jurang resesi, setelah pada triwulan sebelumnya terkontraksi sebesar 5,32%.

Sektor transportasi menjadi salah satu sektor paling terpuruk dalam dua triwulan terakhir. Laju pertumbuhan sektor tersebut pada Triwulan III-2020 jatuh di angka - 16,70 %. Kondisi pandemi Covid-19 yang makin menggila yang sempat mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan mudik juga turut memperparah perlambatan ekonomi. Pasalnya, banyak yang juga harus beristirahat akibat perusahaan transortrasi tempat mereka bekerja banyak yang merugi.

Faktor inilah yang kemudian mendorong barbagai pihak untuk segera memikirkan formula yang tepat dalam penyelamatan sektor transportrasi.


Semangat Konservasi

Selain alasan ekonomi tersebut, yang tidak kalah penting adalah semangat konservasi atau perbaikan lingkungan dari ancaman perubahan iklim.

Sebagaimana semangat peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang telah disebutkan, isu perubahan iklim menjadi hal yang paling urgen untuk segera disikapi.

Saat ini, ancaman perubahan iklim makin kentara dan bisa kita rasakan, salah satu pertanda yang sudah rutin kita alami adalah maraknya bencana hidrologi seperti banjir, longsor, naiknya muka air laut (rob), hingga anomali dan cuaca ekstream akhirakhir ini. Kota Semarang i pada awal 2021 menjadi salah satu kota yang terdampak bencana banjir akibat cuaca ekstrem dan curah hujan yang tinggi.

Perubahan iklim dan pemanasan global merupakan fenomena perubahan alam akibat naiknya suhu bumi yang dipicu oleh tingginya gas buang yang dihasilkan dalam aktivitas produksi dan konsumsi manusia sehari-hari, di antaranya Carbon monoksida (Co), Carbon dioksida (CO2), dan Carbon monoksida (Nox) yang terus bertumpuk menjadi lapisan penghalang yang memperlambat keluarnya paparan panas dari sinar matahari ke bumi.

Lapisan kerak tersebut kemudian dikenal sebagai lapisan gas rumah kaca (GRK). Indonesia merupakan negara yang memiliki komitmen dalam pengurangan laju perubahan iklim dengan meratifikasi berbagai konferensi perubahan iklim, salah satu tindak lanjutnya Indonesia membuat perencanaan strategis pengurangan karbon yang disebut rencana aksi nasional (RAN) dan diteruskan ke daerah dengan adanya rencana aksi daerah (RAD) penurunan karbon, sehingga berbagai kebijakan dan kegiatan yang berpotensi menurunkan emisi GRK di level kota-kabupaten, salah satunya uji coba aturan Publik Transport Day patut untuk didorong dan diapresiasi oleh berbagai pihak. Mematenkan tradisi Publik Transport Day dalam regulasi.

Sejak Pandemi Covid-19 melanda pada akhir 2019 hingga 2021 ini, selain menimbulkan bencana korban jiwa dan kekacauan berbagai sendi kehidupan, pandemi Covid -19 ternyata juga sempat memberikan kontribusi positif bagi lingkungan, terutama daam hal efisiensi energi dan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global/global warming (Amrizarois Ismail, 2020). Kegiatan Public Transport Day ini sejatinya juga berpotensi dalam menciptakan efisiensi.

Secara teknis, kegiatan ini dapat digolongkan sebagai kegiatan jeda dalam menggunakan energi terutama energi fuel yang berasal dari penggunaan bahan bakar minyak (BBM) untuk kendaraan bermotor.

Hal tersebut secara kasat mata dapat dilihat dari adanya penurunan jumlah kendaraan pribadi yang digunakan dan diefisiensikan melalui penggunaan moda transportasi umum, terutama yang bersifat massal seperti bus dan angkutan kota.

Sehingga kita tentu bisa membayangkan apabila hal ini rutin dilaksanakan tiap minggu, akan ada efisiensi penggunaan bahan bakar yang menghasilkan emisi karbon gas rumah kaca (GRK) yang sangat signifikan. Potensi positif ini tentu akan menjadi upaya berarti dalam menanggulangi laju perubahan iklim.

Agar upaya penanggulangan perubahan iklim dapat berjalan maksimal, tentu dibutuhkan adanya perubahan perilaku dari segala unsur masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan.

Karena itu, upaya mendorong perubahan perilaku dengan membangun instrumen habituasi baru sangat diperlukan.

Kegiatan wajib menggunakan transportrasi umum setiap Selasa atau saat ini dikenal sebagai uji coba Public Transport Day sangat berpotensi menjadi instrumen penting dalam mendorong perubahan perilaku masyarakat. Karena itu, sudah selayaknya uji coba ini ditingkatkan levelnya dan dijadikan acuan untuk menggagas regulasi tingkat kota dalam rangka perbaikan iklim dan lingkungan.

Sehingga Kota Semarang nanti dapat diharapkan menjadi percontohan kota konservasi iklim dan mengilhami banyak kota-kabupaten lain untuk turut serta berpartisipasi mewujudkan kota yang sadar dan peduli akan perubahan iklim dan keberlanjutan ekosistem.(37)


— Amrizarois Ismail SPd MLing, dosen Prodi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan Unika Soegijapranata Semarang


Sumber: 

https://www.suaramerdeka.com/opini/pr-04266967/menuju-kota-konservasi-iklim

Minggu, 21 Maret 2021

Usaha Tani Sebagai Agribisnis

 Usaha Tani Sebagai Agribisnis

Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, MT, Sekretaris Jenderal Forum Doktor Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)


Pembangunan wilayah perdesaan identik dengan pembangunan pertanian, karena dominasi kegiatan di wilayah perdesaan adalah pertanian. Karenanya untuk membangun wilayah perdesaan dapat dilakukan dengan mengusahakan pembangunan pertanian.

Dalam pembangunan pertanian, peran dan fungsi petani menjadi sangat penting. Petani menjadi kunci (penyebab langsung) dan merupakan ujung tombak terhadap berkembang atau tidaknya usaha tani. Peran dan fungsi petani dalam proses produksi pertanian bertitik tolak atau tergantung dari keyakinan dan kesadaran para petani akan peran dan fungsinya dalam usaha taninya. Mereka para petani hendaknya mengerti, sadar dan yakin bahwa proses usaha tani yang digelutinya adalah bukan sebagai kegiatan yang rutin dan turun temurun, juga bukan sebagai cara hidup yang diwariskan.

Namun sebaliknya mereka hendaknya mengerti dan yakin bahwa proses usaha tani adalah sesuatu kegiatan usaha yang bersifat bisnis ekonomi (economic bussines), suatu kegiatan yang mendasakan pada perhitungan untung rugi baik dalam kesatuan luas maupun dalam kesatuan waktu. Bahkan dalam kaitan ini AT. Mosher (1966) di dalam bukunya Getting Agriculture Moving, bahwa pembangunan pertanian adalah suatu bagian integral dari pembangunan ekonomi. Selanjutnya AT. Mosher berpendapat bahwa sejauh mana campur tangan petani dalam proses usaha taninya itulah yang membedakan antara usaha tani yang tradisional dan usaha tani yang modern.

Pendekatan yang perlu dilakukan adalah menjadikan petani sebagai subyek dalam proses usaha tani yang bermotivasi, berfikir kreatif, bercita-cita, mau bekerja keras serta mau dan mampu belajar untuk kemajuan usaha taninya.

Kesanggupannya untuk mau bekerja keras dan belajar itulah paling tidak merupakan usaha penguasaan ketrampilan dalam berbudi daya pertanian, yang memungkinkan seorang petani menjadi juru tani dan pengelola usaha tani yang baik.

Hasil petani dari mempelajari sesuatu teknik yang baru dan menguasai pengetahuan usaha tani yang baru, akan memungkinkan mereka mengubah atau meningkatkan metoda-metoda yang diterapkannya, sehingga membawa usaha tani yang dikelolanya lebih produktif.

Motivasi dan cita-cita yang dimiliki oleh petani akan selalu memberikan dorongan untuk melaksanakan sesuatu yang kreatif dalam proses usaha tani. Kuat atau tidaknya motivasi dan cita-cita yang dimiliki oleh petani akan ditentukan oleh keyakinan dan kesadaran petani tersebut dalam melakukan proses usaha tani.

Tindakan para petani yang kreatif didasari dengan motivasi dan cita-cita, akan mendorong dan menimbulkan gairah kerja maupun belajar, sehingga memungkinkan para petani untuk meningkatkan dan menemukan cara-cara berusaha tani yang lebih produktif yang sekaligus dapat merupakan perangsang yang kuat untuk maju. Kecuali itu yang sangat penting bagi terwujudnya pertanian modern, adalah adanya para petani yang cakap mengelola dan bermotivasi, sehingga dapat mengambil manfaat dari setiap kesempatan baik yang terbuka baginya untuk mencapai usaha tani seproduktif mungkin.

Apabila para petani memiliki suatu keyakinan bahwa proses usaha tani adalah suatu usaha yang bersifat bisnis ekonomi, maka pastilah mereka akan lebih kreatif dan akan selalu mengejar pada titik akhir yang mendatangkan keuntungan maksimum dari usaha taninya. Begitu pula sebaliknya, apabila para petani menganggap bahwa usaha taninya adalah sebagai kegiatan rutin dan turun temurun, maka tidak mustahil bila yang mereka lakukan adalah kegiatan yang asal saja dan jauh dari usaha untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal.


Agribisnis Mengurangi Kesenjangan

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan pertanian dengan mengembangkan kegiatan usaha yang bersifat bisnis ekonomi (economic bussines) atau agribisnis:

Pertama, Agribinis adalah mengembangkan sistem usaha tani yang berdaya saing tinggi, berbasis kerakyatan, berkelanjutan serta terdesentralisasi (wewenang berada di pemerintah daerah dan masyarakat petani).

Kedua, Pembangunan pertanian dengan sistem usaha tani agribinis deliniasinya tidak sekedar wilayah perdesaan saja, namun wilayahnya antar desa-kota. Sehingga akan terjadi percepatan pembangunan wilayah perdesaan dan peningkatan keterkaitan pembangunan desa-kota.

Ketiga, Pola atau cara pandang bahwa sistem usaha tani adalah economic bussiness atau agribisnis, diharapkan dapat mengasah atau merubah pola pikir petani dari subsistence managerial menuju commercial managerial sehingga dikelak kemudian hari tercipta entrepreneur-entrepreneur yang self confidence. Dengan kata lain mengajak petani untuk mengembangkan usaha taninya dengan cara pandang manajerial backward linkage – forward linkage.

Keempat, Orientasi economic bussiness pada sistem usaha tani, meliputi agribisnis  dalam lingkup  budidaya (on farm) maupun pada lingkup hulu seperti pengadaan sarana produksi pertanian (saprotan) dan lingkup hilir seperti pasca panen/pengolahan produk primer dan pemasaran.

Kelima, Sistem usaha tani sebagai economic bussiness perlu dijadikan salah satu gerakan dan elemen pembangunan yang diharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Keenam, Dengan mendorong sistem usaha tani sebagai economic bussiness,  secara tidak langsung akan memotivasi petani untuk menjadi petani mandiri. Kemandirian petani akan mengurangi kesenjangan pendapatan masyarakat desa dengan kota, mengurangi kesenjangan antara yang miskin dan yang kaya, mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif dan gatra positif lainnya.  

Ketujuh, Berhasilnya pengembangan pertanian dengan sistem usaha tani sebagai economic bussiness, diharapkan menjadi pendukung dalam memperoleh platform daya saing daerah dan tentu akan bereffect terhadap meningkatnya investasi daerah.

Kedelapan, Partisipasi  aktif serta keterlibatan seluruh stakeholder (petani sebagai masyarakat agribisnis, investor dan pemerintah daerah) sangat menentukan. Giliran berikutnya, akan mendorong dan meningkatnya pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Setempat (PADS).


Sumber: https://arwiranews.com/opini/dr-ir-mohammad-agung-ridlo-mtsekjend-forum-doktor-unissula-usaha-tani-sebagai-agribisnis/


 



Minggu, 14 Maret 2021

Kota yang Adil bagi Warganya

 Kota yang Adil bagi Warganya

Oleh: Mohammad Agung Ridlo


KOTA yang aman adalah kota yang adil. Dengan kata lain bahwa yang dinamakan suatu kota adalah yang dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan keadilan bagi seluruh warganya dalam memenuhi segala kebutuhan aktivitas dan keberlangsungan hidupnya.

Peningkatan jumlah penduduk (Population rapid growth) di perkotaan selain secara alamiah (fertilitas dan mortalitas) juga karena adanya migrasi (inmigrasi dan outmigrasi). Di negara-negara maju, migrasi (baca: urbanisasi) diperlukan untuk mendukung adanya revolusi industri yang membutuhkan tenaga/buruh kerja dalam jumlah yang cukup banyak. Artinya bahwa perkotaan di negara-negara maju ketika itu memang direncanakan dengan memacu adanya migrasi besar-besaran dengan konsep pull factors dan sudah ada kesiapan dari pemerintah tentang lapangan kerja bagi mereka kaum urban.

Sedangkan untuk di negara berkembang urbanisasi terjadi karena desa mereka rasa sudah tidak mampu lagi memberikan rejeki yang memadai. Desa dirasa sudah tidak lagi bisa memberikan harapan-harapan yang cerah sebagai tempat kehidupan untuk masa mendatang. Penduduk bertambah banyak, kebutuhan lahan untuk bermukim semakin meningkat, tanah garapan semakin menyempit, nilai tukar (value added) substansi semakin rendah, kesejahteraan semakin menurun, maka hal itu tidak lagi mendukung mereka untuk tetap bertahan tinggal di desa. Hal itu menjadikan mereka berbondong-bondong terdorong keluar (merupakan push factors) untuk mencari harapan di luar desanya menuju ke kota-kota di sekitar (hinterland) nya, yang dianggap lebih menjanjikan.

Daya tarik yang dipunyai kota (pull factors), menurut mereka (para urbanis) dengan berbagai “gebyar-gebyarnya kehidupan kota” ternyata merupakan tempat berakumulasinya berbagai aktivitas, khususnya aktivitas yang dapat menghasilkan doku atau fulus (bahasa prokem istilah mereka untuk menyebut uang). Dengan kata lain, setiap bentuk gerak manusia ternyata bisa mendatangkan rejeki. Artinya, dengan keterbatasan ketrampilan (skill) yang dibawa dari desa (yang serba pas-pasan) mereka berupaya untuk meraih suatu keberhasilan, walaupun hanya bermodal tenaga.

Sementara itu kota sendiri belum mampu menyediakan lapangan kerja bagi warganya. Mereka banyak masuk ke sektor informal (self employed). Jadi kuli bangunan, pedagang kaki lima atau pedagang keliling, tukang becak, bahkan sampai menjadi tukang pengumpul barang-barang bekas ditumpukan sampah alias “pemulung” dan seterusnya. Namun tak jarang pula diantara mereka yang terpaksa menyandang status “gepeng” alias “gelandangan dan pengemis” dengan segudang harapan yang ada di benaknya.

Sebagian dari mereka terbelenggu oleh ketidakberdayaan memperbaiki nasib di perkotaan. Mereka terperangkap dalam perekonomian informal dengan penghasilan yang rendah dan tinggal di tempat-tempat kumuh (slum dan squatter) membentuk enclave-enclave kumuh kota.

Kota dituntut untuk menyediakan berbagai infrastuktur pelayanan dasar perkotaan seperti penyediaan air bersih, pembuangan sampah, penanganan drainase, termasuk pada perumahan dan permukiman yang penduduknya meningkat dengan cepat.

Semakin besar/luas ukuran kota akan semakin sulit dalam pengaturan, penataan ruang dan penyediaan infrastuktur perkotaan. Semakin banyak orang akan terkena dampak bila penyediaan infrastruktur pelayanan perkotaan mengalami kekurangan atau kegagalan. Pengaruh dari kegagalan tersebut, dapat menyebabkan berbagai kekacauan, saling berebut mendapatkan pelayanan yang sama, dan biasanya terjadi pada wilayah-wilayah yang penduduknya berpenghasilan rendah. Pada gilirannya, akan diikuti dengan merebaknya perilaku-perilaku negatif dan menyimpang seperti kriminalitas dan vandalisme yang cenderung ke arah pathology social. Angka kriminalitas semakin meningkat, jurang pemisah antara golongan kaya (the have) dan golongan miskin (have nots) makin menganga lebar.

Sebagai contoh, penyediaan hunian (permukiman) bagi golongan the have tidak menjadi masalah. Sedangkan hunian (permukiman) bagi golongan have nots perlu dipikirkan solusinya. Sulitnya golongan have nots untuk mendapatkan rumah yang layak huni, semakin tahun kuantitasnya semakin bertambah. Merebaknya permukiman kumuh (slum dan squatter ) semakin tumbuh secara sporadis dan makin meluas. Masalah kemiskinan membuat kelompok ini hanya mampu mengakses lingkungan dan permukiman slum dan squatter, dengan kurang memadainya pelayanan penyediaan prasarana dan sarana dasar lingkungan. Tentu hal ini menghambat potensi produktivitas dan kewirausahaan para penghuninya.

Pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman bagi kaum marginal (golongan have nots) di perkotaan menjadi sangat kritis, karena daya dukung kota tidak seimbang dengan laju pertumbuhan penduduk yang makin pesat. Fenomena merebaknya permukiman slum dan squatter semakin menambah rumitnya masalah di perkotaan. Hal ini merupakan ancaman serius bagi pemerintah kota dan urgent untuk segera ditangani. Keberadaan permukiman slum dan squatter ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan perumahan yang layak bagi warganya. Artinya pemerintah juga gagal mendorong warganya untuk berkegiatan sosial dan ekonomi yang produktif.

Oleh karenanya, urban manager dan decision maker bertanggungjawab untuk membuat kota yang adil bagi semua warganya. Perlu langkah konkrit dengan mendayagunakan potensi masyarakat (pembangunan bertumpu pada masyarakat) dalam pengaturan, penataan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman, serta upaya-upaya peningkatan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan bagi masyarakat terutama bagi golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah, yang saat ini termarginalkan.

Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, MT, Sekretaris Jenderal Forum Doktor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula).Jatengdaily.com–st


Sumber: https://jatengdaily.com/2021/kota-yang-adil-bagi-warganya/



Umum