Minggu, 14 Maret 2021

Kota yang Adil bagi Warganya

 Kota yang Adil bagi Warganya

Oleh: Mohammad Agung Ridlo


KOTA yang aman adalah kota yang adil. Dengan kata lain bahwa yang dinamakan suatu kota adalah yang dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan keadilan bagi seluruh warganya dalam memenuhi segala kebutuhan aktivitas dan keberlangsungan hidupnya.

Peningkatan jumlah penduduk (Population rapid growth) di perkotaan selain secara alamiah (fertilitas dan mortalitas) juga karena adanya migrasi (inmigrasi dan outmigrasi). Di negara-negara maju, migrasi (baca: urbanisasi) diperlukan untuk mendukung adanya revolusi industri yang membutuhkan tenaga/buruh kerja dalam jumlah yang cukup banyak. Artinya bahwa perkotaan di negara-negara maju ketika itu memang direncanakan dengan memacu adanya migrasi besar-besaran dengan konsep pull factors dan sudah ada kesiapan dari pemerintah tentang lapangan kerja bagi mereka kaum urban.

Sedangkan untuk di negara berkembang urbanisasi terjadi karena desa mereka rasa sudah tidak mampu lagi memberikan rejeki yang memadai. Desa dirasa sudah tidak lagi bisa memberikan harapan-harapan yang cerah sebagai tempat kehidupan untuk masa mendatang. Penduduk bertambah banyak, kebutuhan lahan untuk bermukim semakin meningkat, tanah garapan semakin menyempit, nilai tukar (value added) substansi semakin rendah, kesejahteraan semakin menurun, maka hal itu tidak lagi mendukung mereka untuk tetap bertahan tinggal di desa. Hal itu menjadikan mereka berbondong-bondong terdorong keluar (merupakan push factors) untuk mencari harapan di luar desanya menuju ke kota-kota di sekitar (hinterland) nya, yang dianggap lebih menjanjikan.

Daya tarik yang dipunyai kota (pull factors), menurut mereka (para urbanis) dengan berbagai “gebyar-gebyarnya kehidupan kota” ternyata merupakan tempat berakumulasinya berbagai aktivitas, khususnya aktivitas yang dapat menghasilkan doku atau fulus (bahasa prokem istilah mereka untuk menyebut uang). Dengan kata lain, setiap bentuk gerak manusia ternyata bisa mendatangkan rejeki. Artinya, dengan keterbatasan ketrampilan (skill) yang dibawa dari desa (yang serba pas-pasan) mereka berupaya untuk meraih suatu keberhasilan, walaupun hanya bermodal tenaga.

Sementara itu kota sendiri belum mampu menyediakan lapangan kerja bagi warganya. Mereka banyak masuk ke sektor informal (self employed). Jadi kuli bangunan, pedagang kaki lima atau pedagang keliling, tukang becak, bahkan sampai menjadi tukang pengumpul barang-barang bekas ditumpukan sampah alias “pemulung” dan seterusnya. Namun tak jarang pula diantara mereka yang terpaksa menyandang status “gepeng” alias “gelandangan dan pengemis” dengan segudang harapan yang ada di benaknya.

Sebagian dari mereka terbelenggu oleh ketidakberdayaan memperbaiki nasib di perkotaan. Mereka terperangkap dalam perekonomian informal dengan penghasilan yang rendah dan tinggal di tempat-tempat kumuh (slum dan squatter) membentuk enclave-enclave kumuh kota.

Kota dituntut untuk menyediakan berbagai infrastuktur pelayanan dasar perkotaan seperti penyediaan air bersih, pembuangan sampah, penanganan drainase, termasuk pada perumahan dan permukiman yang penduduknya meningkat dengan cepat.

Semakin besar/luas ukuran kota akan semakin sulit dalam pengaturan, penataan ruang dan penyediaan infrastuktur perkotaan. Semakin banyak orang akan terkena dampak bila penyediaan infrastruktur pelayanan perkotaan mengalami kekurangan atau kegagalan. Pengaruh dari kegagalan tersebut, dapat menyebabkan berbagai kekacauan, saling berebut mendapatkan pelayanan yang sama, dan biasanya terjadi pada wilayah-wilayah yang penduduknya berpenghasilan rendah. Pada gilirannya, akan diikuti dengan merebaknya perilaku-perilaku negatif dan menyimpang seperti kriminalitas dan vandalisme yang cenderung ke arah pathology social. Angka kriminalitas semakin meningkat, jurang pemisah antara golongan kaya (the have) dan golongan miskin (have nots) makin menganga lebar.

Sebagai contoh, penyediaan hunian (permukiman) bagi golongan the have tidak menjadi masalah. Sedangkan hunian (permukiman) bagi golongan have nots perlu dipikirkan solusinya. Sulitnya golongan have nots untuk mendapatkan rumah yang layak huni, semakin tahun kuantitasnya semakin bertambah. Merebaknya permukiman kumuh (slum dan squatter ) semakin tumbuh secara sporadis dan makin meluas. Masalah kemiskinan membuat kelompok ini hanya mampu mengakses lingkungan dan permukiman slum dan squatter, dengan kurang memadainya pelayanan penyediaan prasarana dan sarana dasar lingkungan. Tentu hal ini menghambat potensi produktivitas dan kewirausahaan para penghuninya.

Pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman bagi kaum marginal (golongan have nots) di perkotaan menjadi sangat kritis, karena daya dukung kota tidak seimbang dengan laju pertumbuhan penduduk yang makin pesat. Fenomena merebaknya permukiman slum dan squatter semakin menambah rumitnya masalah di perkotaan. Hal ini merupakan ancaman serius bagi pemerintah kota dan urgent untuk segera ditangani. Keberadaan permukiman slum dan squatter ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan perumahan yang layak bagi warganya. Artinya pemerintah juga gagal mendorong warganya untuk berkegiatan sosial dan ekonomi yang produktif.

Oleh karenanya, urban manager dan decision maker bertanggungjawab untuk membuat kota yang adil bagi semua warganya. Perlu langkah konkrit dengan mendayagunakan potensi masyarakat (pembangunan bertumpu pada masyarakat) dalam pengaturan, penataan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman, serta upaya-upaya peningkatan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan bagi masyarakat terutama bagi golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah, yang saat ini termarginalkan.

Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, MT, Sekretaris Jenderal Forum Doktor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula).Jatengdaily.com–st


Sumber: https://jatengdaily.com/2021/kota-yang-adil-bagi-warganya/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Umum