Minggu, 21 Maret 2021

Usaha Tani Sebagai Agribisnis

 Usaha Tani Sebagai Agribisnis

Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, MT, Sekretaris Jenderal Forum Doktor Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)


Pembangunan wilayah perdesaan identik dengan pembangunan pertanian, karena dominasi kegiatan di wilayah perdesaan adalah pertanian. Karenanya untuk membangun wilayah perdesaan dapat dilakukan dengan mengusahakan pembangunan pertanian.

Dalam pembangunan pertanian, peran dan fungsi petani menjadi sangat penting. Petani menjadi kunci (penyebab langsung) dan merupakan ujung tombak terhadap berkembang atau tidaknya usaha tani. Peran dan fungsi petani dalam proses produksi pertanian bertitik tolak atau tergantung dari keyakinan dan kesadaran para petani akan peran dan fungsinya dalam usaha taninya. Mereka para petani hendaknya mengerti, sadar dan yakin bahwa proses usaha tani yang digelutinya adalah bukan sebagai kegiatan yang rutin dan turun temurun, juga bukan sebagai cara hidup yang diwariskan.

Namun sebaliknya mereka hendaknya mengerti dan yakin bahwa proses usaha tani adalah sesuatu kegiatan usaha yang bersifat bisnis ekonomi (economic bussines), suatu kegiatan yang mendasakan pada perhitungan untung rugi baik dalam kesatuan luas maupun dalam kesatuan waktu. Bahkan dalam kaitan ini AT. Mosher (1966) di dalam bukunya Getting Agriculture Moving, bahwa pembangunan pertanian adalah suatu bagian integral dari pembangunan ekonomi. Selanjutnya AT. Mosher berpendapat bahwa sejauh mana campur tangan petani dalam proses usaha taninya itulah yang membedakan antara usaha tani yang tradisional dan usaha tani yang modern.

Pendekatan yang perlu dilakukan adalah menjadikan petani sebagai subyek dalam proses usaha tani yang bermotivasi, berfikir kreatif, bercita-cita, mau bekerja keras serta mau dan mampu belajar untuk kemajuan usaha taninya.

Kesanggupannya untuk mau bekerja keras dan belajar itulah paling tidak merupakan usaha penguasaan ketrampilan dalam berbudi daya pertanian, yang memungkinkan seorang petani menjadi juru tani dan pengelola usaha tani yang baik.

Hasil petani dari mempelajari sesuatu teknik yang baru dan menguasai pengetahuan usaha tani yang baru, akan memungkinkan mereka mengubah atau meningkatkan metoda-metoda yang diterapkannya, sehingga membawa usaha tani yang dikelolanya lebih produktif.

Motivasi dan cita-cita yang dimiliki oleh petani akan selalu memberikan dorongan untuk melaksanakan sesuatu yang kreatif dalam proses usaha tani. Kuat atau tidaknya motivasi dan cita-cita yang dimiliki oleh petani akan ditentukan oleh keyakinan dan kesadaran petani tersebut dalam melakukan proses usaha tani.

Tindakan para petani yang kreatif didasari dengan motivasi dan cita-cita, akan mendorong dan menimbulkan gairah kerja maupun belajar, sehingga memungkinkan para petani untuk meningkatkan dan menemukan cara-cara berusaha tani yang lebih produktif yang sekaligus dapat merupakan perangsang yang kuat untuk maju. Kecuali itu yang sangat penting bagi terwujudnya pertanian modern, adalah adanya para petani yang cakap mengelola dan bermotivasi, sehingga dapat mengambil manfaat dari setiap kesempatan baik yang terbuka baginya untuk mencapai usaha tani seproduktif mungkin.

Apabila para petani memiliki suatu keyakinan bahwa proses usaha tani adalah suatu usaha yang bersifat bisnis ekonomi, maka pastilah mereka akan lebih kreatif dan akan selalu mengejar pada titik akhir yang mendatangkan keuntungan maksimum dari usaha taninya. Begitu pula sebaliknya, apabila para petani menganggap bahwa usaha taninya adalah sebagai kegiatan rutin dan turun temurun, maka tidak mustahil bila yang mereka lakukan adalah kegiatan yang asal saja dan jauh dari usaha untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal.


Agribisnis Mengurangi Kesenjangan

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan pertanian dengan mengembangkan kegiatan usaha yang bersifat bisnis ekonomi (economic bussines) atau agribisnis:

Pertama, Agribinis adalah mengembangkan sistem usaha tani yang berdaya saing tinggi, berbasis kerakyatan, berkelanjutan serta terdesentralisasi (wewenang berada di pemerintah daerah dan masyarakat petani).

Kedua, Pembangunan pertanian dengan sistem usaha tani agribinis deliniasinya tidak sekedar wilayah perdesaan saja, namun wilayahnya antar desa-kota. Sehingga akan terjadi percepatan pembangunan wilayah perdesaan dan peningkatan keterkaitan pembangunan desa-kota.

Ketiga, Pola atau cara pandang bahwa sistem usaha tani adalah economic bussiness atau agribisnis, diharapkan dapat mengasah atau merubah pola pikir petani dari subsistence managerial menuju commercial managerial sehingga dikelak kemudian hari tercipta entrepreneur-entrepreneur yang self confidence. Dengan kata lain mengajak petani untuk mengembangkan usaha taninya dengan cara pandang manajerial backward linkage – forward linkage.

Keempat, Orientasi economic bussiness pada sistem usaha tani, meliputi agribisnis  dalam lingkup  budidaya (on farm) maupun pada lingkup hulu seperti pengadaan sarana produksi pertanian (saprotan) dan lingkup hilir seperti pasca panen/pengolahan produk primer dan pemasaran.

Kelima, Sistem usaha tani sebagai economic bussiness perlu dijadikan salah satu gerakan dan elemen pembangunan yang diharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Keenam, Dengan mendorong sistem usaha tani sebagai economic bussiness,  secara tidak langsung akan memotivasi petani untuk menjadi petani mandiri. Kemandirian petani akan mengurangi kesenjangan pendapatan masyarakat desa dengan kota, mengurangi kesenjangan antara yang miskin dan yang kaya, mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif dan gatra positif lainnya.  

Ketujuh, Berhasilnya pengembangan pertanian dengan sistem usaha tani sebagai economic bussiness, diharapkan menjadi pendukung dalam memperoleh platform daya saing daerah dan tentu akan bereffect terhadap meningkatnya investasi daerah.

Kedelapan, Partisipasi  aktif serta keterlibatan seluruh stakeholder (petani sebagai masyarakat agribisnis, investor dan pemerintah daerah) sangat menentukan. Giliran berikutnya, akan mendorong dan meningkatnya pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Setempat (PADS).


Sumber: https://arwiranews.com/opini/dr-ir-mohammad-agung-ridlo-mtsekjend-forum-doktor-unissula-usaha-tani-sebagai-agribisnis/


 



Minggu, 14 Maret 2021

Kota yang Adil bagi Warganya

 Kota yang Adil bagi Warganya

Oleh: Mohammad Agung Ridlo


KOTA yang aman adalah kota yang adil. Dengan kata lain bahwa yang dinamakan suatu kota adalah yang dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan keadilan bagi seluruh warganya dalam memenuhi segala kebutuhan aktivitas dan keberlangsungan hidupnya.

Peningkatan jumlah penduduk (Population rapid growth) di perkotaan selain secara alamiah (fertilitas dan mortalitas) juga karena adanya migrasi (inmigrasi dan outmigrasi). Di negara-negara maju, migrasi (baca: urbanisasi) diperlukan untuk mendukung adanya revolusi industri yang membutuhkan tenaga/buruh kerja dalam jumlah yang cukup banyak. Artinya bahwa perkotaan di negara-negara maju ketika itu memang direncanakan dengan memacu adanya migrasi besar-besaran dengan konsep pull factors dan sudah ada kesiapan dari pemerintah tentang lapangan kerja bagi mereka kaum urban.

Sedangkan untuk di negara berkembang urbanisasi terjadi karena desa mereka rasa sudah tidak mampu lagi memberikan rejeki yang memadai. Desa dirasa sudah tidak lagi bisa memberikan harapan-harapan yang cerah sebagai tempat kehidupan untuk masa mendatang. Penduduk bertambah banyak, kebutuhan lahan untuk bermukim semakin meningkat, tanah garapan semakin menyempit, nilai tukar (value added) substansi semakin rendah, kesejahteraan semakin menurun, maka hal itu tidak lagi mendukung mereka untuk tetap bertahan tinggal di desa. Hal itu menjadikan mereka berbondong-bondong terdorong keluar (merupakan push factors) untuk mencari harapan di luar desanya menuju ke kota-kota di sekitar (hinterland) nya, yang dianggap lebih menjanjikan.

Daya tarik yang dipunyai kota (pull factors), menurut mereka (para urbanis) dengan berbagai “gebyar-gebyarnya kehidupan kota” ternyata merupakan tempat berakumulasinya berbagai aktivitas, khususnya aktivitas yang dapat menghasilkan doku atau fulus (bahasa prokem istilah mereka untuk menyebut uang). Dengan kata lain, setiap bentuk gerak manusia ternyata bisa mendatangkan rejeki. Artinya, dengan keterbatasan ketrampilan (skill) yang dibawa dari desa (yang serba pas-pasan) mereka berupaya untuk meraih suatu keberhasilan, walaupun hanya bermodal tenaga.

Sementara itu kota sendiri belum mampu menyediakan lapangan kerja bagi warganya. Mereka banyak masuk ke sektor informal (self employed). Jadi kuli bangunan, pedagang kaki lima atau pedagang keliling, tukang becak, bahkan sampai menjadi tukang pengumpul barang-barang bekas ditumpukan sampah alias “pemulung” dan seterusnya. Namun tak jarang pula diantara mereka yang terpaksa menyandang status “gepeng” alias “gelandangan dan pengemis” dengan segudang harapan yang ada di benaknya.

Sebagian dari mereka terbelenggu oleh ketidakberdayaan memperbaiki nasib di perkotaan. Mereka terperangkap dalam perekonomian informal dengan penghasilan yang rendah dan tinggal di tempat-tempat kumuh (slum dan squatter) membentuk enclave-enclave kumuh kota.

Kota dituntut untuk menyediakan berbagai infrastuktur pelayanan dasar perkotaan seperti penyediaan air bersih, pembuangan sampah, penanganan drainase, termasuk pada perumahan dan permukiman yang penduduknya meningkat dengan cepat.

Semakin besar/luas ukuran kota akan semakin sulit dalam pengaturan, penataan ruang dan penyediaan infrastuktur perkotaan. Semakin banyak orang akan terkena dampak bila penyediaan infrastruktur pelayanan perkotaan mengalami kekurangan atau kegagalan. Pengaruh dari kegagalan tersebut, dapat menyebabkan berbagai kekacauan, saling berebut mendapatkan pelayanan yang sama, dan biasanya terjadi pada wilayah-wilayah yang penduduknya berpenghasilan rendah. Pada gilirannya, akan diikuti dengan merebaknya perilaku-perilaku negatif dan menyimpang seperti kriminalitas dan vandalisme yang cenderung ke arah pathology social. Angka kriminalitas semakin meningkat, jurang pemisah antara golongan kaya (the have) dan golongan miskin (have nots) makin menganga lebar.

Sebagai contoh, penyediaan hunian (permukiman) bagi golongan the have tidak menjadi masalah. Sedangkan hunian (permukiman) bagi golongan have nots perlu dipikirkan solusinya. Sulitnya golongan have nots untuk mendapatkan rumah yang layak huni, semakin tahun kuantitasnya semakin bertambah. Merebaknya permukiman kumuh (slum dan squatter ) semakin tumbuh secara sporadis dan makin meluas. Masalah kemiskinan membuat kelompok ini hanya mampu mengakses lingkungan dan permukiman slum dan squatter, dengan kurang memadainya pelayanan penyediaan prasarana dan sarana dasar lingkungan. Tentu hal ini menghambat potensi produktivitas dan kewirausahaan para penghuninya.

Pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman bagi kaum marginal (golongan have nots) di perkotaan menjadi sangat kritis, karena daya dukung kota tidak seimbang dengan laju pertumbuhan penduduk yang makin pesat. Fenomena merebaknya permukiman slum dan squatter semakin menambah rumitnya masalah di perkotaan. Hal ini merupakan ancaman serius bagi pemerintah kota dan urgent untuk segera ditangani. Keberadaan permukiman slum dan squatter ini mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan perumahan yang layak bagi warganya. Artinya pemerintah juga gagal mendorong warganya untuk berkegiatan sosial dan ekonomi yang produktif.

Oleh karenanya, urban manager dan decision maker bertanggungjawab untuk membuat kota yang adil bagi semua warganya. Perlu langkah konkrit dengan mendayagunakan potensi masyarakat (pembangunan bertumpu pada masyarakat) dalam pengaturan, penataan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman, serta upaya-upaya peningkatan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan bagi masyarakat terutama bagi golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah, yang saat ini termarginalkan.

Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, MT, Sekretaris Jenderal Forum Doktor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula).Jatengdaily.com–st


Sumber: https://jatengdaily.com/2021/kota-yang-adil-bagi-warganya/



Umum