Sabtu, 24 Juli 2021

Waspadai Ketimpangan Perkotaan

 

Waspadai Ketimpangan (Ekonomi) Perkotaan

Oleh : Andreas Lako


"Untuk merumuskan solusi yang efektif mengatasi peningkatan ketimpangan perkoataan, maka pemerintah daerah perlu segera mengundang pimpinan BPS Jateng untuk dapat dimintai penjelasannya lebih lanjut tentang daerah-daerah perkotaan mana saja yang mengalami peningkatan ketimpangan yang serius dan apa saja faktor penyebabnya."

PADA 15 Juli 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah merilis dua berita sekaligus, yaitu berita kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk per Maret 2021. Di satu sisi, BPS melaporkan bahwa per Maret 2021, jumlah penduduk miskin Jateng menurun 10,2 ribu orang, yaitu dari 4,12 juta orang atau 11,84 persen (September 2020) menjadi 4,11 juta orang atau 11,79 persen (Maret 2021).

Walaupun hanya sedikit, penurunan itu sedikit melegakan hati kita di tengah kekhawatiran sejumlah pihak bahwa akan terjadi lonjakan jumlah pendidik miskin akibat dililit Covid-19.

Namun di sisi lain, BPS juga merilis berita yang cukup mencemaskan, khususnya berkaitan dengan ketimpangan pengeluaran penduduk. Dilaporkan bahwa per Maret 2021, ketimpangan pengeluaran penduduk, yang diukur dengan Rasio Gini, meningkat dari 0,359 (September 2020) menjadi 0,372 pada Maret 2021.

Dari angka tersebut, sebenarnya ketimpangan di Jateng masih aman, karena masih masuk dalam kategori ‘’ketimpangan rendah’’. Potensi gejolak sosial pun sangat kecil. Namun, bila ditelaah lebih lanjut dari pemberitaan BPS tersebut, maka akan terlihat bahwa Rasio Gini di daerah perkotaan meningkat cukup tajam dari 0,386 (September 2020) menjadi 0,398 pada Maret 2021.

Sementara itu, peningkatan rasio Gini di wilayah pedesaan masih tergolong ketimpangan rendah, yaitu dari 0,318 (September 2020) menjadi 0,325 pada Maret 2021.

Berdasarkan kriteria Rasio Gini, ketimpangan sosial di daerah perkotaan tersebut sudah nyaris masuk ke 0,40, yaitu masuk ke dalam kategori ‘’ketimpangan menengah’’. Hal ini cukup mencemaskan dan patut diwaspadai pemerintah, karena potensi risiko-risiko sosial-politiknya cukup besar. Fakta-fakta empiris menunjukkan ketika suatu daerah akan masuk atau sudah masuk ke dalam kategori ‘’ketimpangan menengah’’, maka daerah itu akan mudah sekali terjadi gejolak sosial. Kecemburuan sosial antarkelompok masyarakat meningkat.

Kecemburuan itu bisa memicu riak-riak konflik sosial antarkelompok masyarakat yang berujung pada tindakan anarkisme yang merugikan masyarakat dan daerah. Biasanya daerah dengan ketimpangan sosial menengah dan tinggi juga akan mudah dijadikan tempat yang subur bagi bersemainya benih-benih radikalisme.

Daerah itu juga mudah tersuluh konflik sosial dan kegaduhan politik. Selain itu, daerah-daerah dengan ketimpangan yang cukup lebar biasanya pengaruh pemerintahan juga kurang efektif.

Coudouel, Dani, dan Paternostro (2006) dalam artikelnya ‘’Poverty and Social Impact Analysis of Reform: Lessons and Examples from Implementation’’ menjelaskan, meskipun ketimpangan bisa saja tidak sampai menimbulkan guncangan sosial dan politik, namun ketimpangan itu dapat menimbulkan resistensi masyarakat terhadap berbagai reformasi kebijakan pemerintah.

Roda pemerintahan kurang efektif. Dalam kondisi dililit pandemik Covid-19 seperti saat ini, di mana sumber-sumber penghidupan atau penghasilan masyarakat kelas menengah-bawah di daerah perkotaan banyak yang hilang atau merosot tajam akibat pelaksanaan PPKM darurat, maka peningkatan ketimpangan ekonomi (Rasio Gini) hingga mencapai 0,398 dan bahkan mungkin sudah melampaui di 0,40 selama April-Juli 2021, patut diwaspadai dan disiasati.

Di daerah perkotaan, ketimpangan berskala menengah memiliki potensi risiko konflik yang jauh lebih besar dan kompleks dibandingkan dengan daerah pedesaan. Apalagi dalam kondisi diliputi ketidakpastian dan kecemasan akibat Covid-19.

Hal itu akibat lebih dari 40 persen kelompok masyarakat miskin berpendapatan rendah lebih rentan dan sensitif, serta mudah terprovokasi oleh isu-isu kemiskinan, ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan isu-isu lain dari orang-orang atau sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, daerah perkotaan juga menanggung beban pengangguran terbuka lebih berat dibandingkan dengan pedesaan.

Dalam kondisi ketidakpastian dan ketimpangan yang kian melebar, serta juga beban perkotaan yang makin berat itu, maka akan sangat mudah sekali masyarakat terprovokasi oleh isu-isu sensitif dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Belajar dari sejumlah kasus kerusuhan massa dari sejumlah kota dan daerah, seperti di DKI Jakarta, Makassar, Yogyakarta, Solo, Papua, dan lainnya, maka Pemerintah Daerah Provinsi dan kabupaten/ kota di Jateng dan pihakpihak terkait perlu mewaspadai peningkatan ketimpangan di daerah perkotaan. Pemerintah perlu bergerak cepat untuk merumuskan solusinya yang efektif.


Mengatasi Ketimpangan

Lalu, bagaimana solusinya? Untuk merumuskan solusi yang efektif mengatasi peningkatan ketimpangan perkoataan, maka pemerintah daerah perlu segera mengundang pimpinan BPS Jateng untuk dapat dimintai penjelasannya lebih lanjut tentang daerah-daerah perkotaan mana saja yang mengalami peningkatan ketimpangan yang serius dan apa saja faktor penyebabnya.

Penjelasan itu sangat penting untuk memudahkan pemerintah dan berbagai pihak bisa fokus dalam merumuskan berbagai strategi dan kebijakan pembangunan untuk mengurangi peningkatan ketimpangan dan mencegah potensi gejolak sosial di perkotaan.

Langkah penting berikutnya adalah sebaiknya melonggarkan penerapan PPKM darurat di wilayah perkotaan yang akan dilanjutkan lagi pemerintah demi menekan laju Covid-19.

Hal ini penting untuk memungkinkan para pelaku ekonomi, khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dapat menjalankan kembali usaha ekonomi bisnisnya dan mempekerjakan kembali para pekerjanya serta merekrut tenaga kerja baru.

Hal ini tentu akan memiliki efek positif terhadap penurunan laju kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan, serta mendongkrak kinerja perekonomian dan pendapatan daerah. Kepada mereka, pemerintah perlu mensyaratkan pentingnya menerapkan protokol kesehatan sebagai budaya bisnis dalam operasi usaha bisnis.

Mereka juga diminta untuk ‘’mendidik dan bahkan memaksa’’ para pelanggannya untuk menaati protokol kesehatan. Walaupun kebijakan ini bisa berpotensi meningkatkan lagi kasus Covid-19, namun di sisi lain pelonggaran itu akan sangat efektif menekan potensi gejolak sosial akibat melebarnya ketimpangan sosialekonomi.

Patut juga diingat, mayoritas dari 80 persen penduduk berpendapatan menengah dan rendah yang bermukim di daerah-daerah perkotaan sangat mengandalkan penghasilan harian untuk menopang kelangsungan hidup mereka.

Pembatasan sosial dan penerapan PPKM secara ketat untuk menekan laju Covid-19 yang telah diterapkan pemerintah daerah tentu saja sangat berdampak negatif terhadap sumber penghidupan dan kelangsungan kehidupan mereka.

Hal ini harus juga dipertimbangkan secara arif dan bijak oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait. Langkah ketiga adalah intervensi pemerintah berupa pemberian bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat miskin, kaum difabel, tua jompo, dan pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) untuk menopang kelangsungan hidup mereka. Walaupun anggaran pemerintah kian terbatas atau defisit akibat dililit Covid-19, namun pemerintah perlu menguyapakan sumbersumber pendapatan alternatif untuk membantu kelompok ini.

Misalnya, penggalangan dana kemanusiaan dari masyarakat dan korporasi agar saling berbelas kasih. Semoga badai krisis Covid-19 segera berlalu! (37)


—Andreas Lako, Ketua Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata Semarang.


Sumber: 

https://www.suaramerdeka.com/opini/pr-04471223/waspadai-ketimpangan-perkotaan?page=all

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Umum